Oleh : Drs. MAHYUDA, MA
( Hakim Pengadilan Agama Bukittinggi )
Syari’at/ajaran Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk melaksanakan perkawinan, karena perkawinan merupakan sunnatullah, perkawinan merupakan jalan yang paling mulia bagi laki-laki maupun permpuan untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya dan untuk melanjutkan keturunannya.
Melaksanakan perkawinan merupakan suatu bukti ketaatan kepada Allah dan RasulNya, karena banyak ayat Allah dan hadis Nabi yang menganjurkan setiap umatnya untuk melakukan perkawinan.
Sekalipun demikian seseorang tidaklah bebas saja untuk menentukan pilihannya, karena di dalam syari’at Islam terdapat ketentuan-ketentuan tentang siapa-siapa yang haram dinikahi.
Sering terjadi keraguan di tengah masyarakat kita terutama di Ranah Minang ini yang menganut asas kekerabatan Matrelineal (garis kekerabatan melalui ibu), mengenai boleh atau tidaknya melakukan perkawinan antara saudara sepupu, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Sebelum masuk kepada pembahasan lebih lanjut, maka sebaiknya ditinjau lebih dahulu apa yang dimaksud saudara sepupu.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) keluaran tahun 1995 dijelaskan bahwa “sepupu adalah hubungan kekerabatan antara anak-anak dari dua orang bersaudara ; saudara senenek”.
Maka yang dimaksud saudara sepupu adalah anak saudara laki-laki/perempuan dari ibu/bapak kita.
Di Minang Kabau termasuklah kedalam kelompok saudara sepupu ; anak saudara ibu/bapak (anak etek), anak mamak, anak pak etek/pak tuo.
Maka yang dimaksud perkawinan antara saudara sepupu adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang yang bersaudara, apakah dari pihak laki-laki atau dari pihak perempuan.
Untuk mengetahui lebih lanjut apa hukumnya menikahi saudara sepupu, maka dalam hal ini penulis akan mengambil dasar hukum tentang siapa-siapa yang haram dinikahi berdasarkan nash (Al-Qur’an dan hadis) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di negara kita yang mengatur masalah-masalah perkawinan.
Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 23 yang artinya berbunyi :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibu yang menyusukan kamu,
saudara perempuan sepersusuan,
ibu-ibu isterimu (mertua),
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya,
(dan diharamkam bagimu) isteri-isteri anak kandungmu(menantu),
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masalampau,
sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Selanjutnya dalam Fiqh Islam, para pakar hukum Islam seperti Sayid Sabiq dan lain-lainnya mereka mengelompokkan perempuan yang haram dikawini ke dalam tiga kelompok.
Pertama adalah kelompok yang haram karena nasab (keturunan),
Kedua adalah kelompok yang haram karena hubungan Mushaharah (perkawinan), dan yang ketiga adalah kelompok yang haram karena hubungan radha’ah (persusuan).
Di negara kita, sekarang ini sudah banyak peraturan-peraturan yang mengatur masalah perkawinan.
Di dalamnya terdapat ketentuan tentang siapa-siapa yang haram dikawini antara lain; pasal 8 Undang-undang No. I Tahun 1974 dan pasal 39 sampai dengan pasal 44 Inpres No I Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, anatara lain dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Karena pertalian nasab :
a. Dengan wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
2. Karena pertalian kerabat semenda :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al dukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan :
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Dilarang juga seseorang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita dalam keadaan tertentu seperti :
1. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3. Seorang wanita/pria yang tidak beragama Islam.
4. Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan isterinya :
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya
5. Seorang pria dilarang melakukan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai empat orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya masih dalam masa iddah talak raj’i.
6. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali dan dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an, kecuali kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa menurut syari’at Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, tidak ada halangan bagi laki-laki dan perempuan yang terikat tali hubungan persaudaraaan sepupu melangsungkan perkawinan.
Jadi perkawinan seperti itu, menurut syari’at Islam hukumnya adalah mubah ( boleh ), karena tidak dijumpai nash Al-Qur’an dan Hadis yang secara tegas menganjurkan atau melarang perkawinan antara saudara sepupu.
Akan tetapi dalam syari’at Islam dijelaskan bahwa perkawinan antara orang yang jauh sunnah hukumnya.
Hal ini berarti bahwa syari’at Islam, demi kemaslahatan, menganjurkan untuk menghindari perkawinan antara saudara sepupu yang hubungan kekerabatannya sangat dekat.
Dalam pandangan fiqh kontemporer ada pendapat yang mengharamkan pernikahan dengan saudara sepupu yaitu antara anak saudara perempuan dengan anak saudara perempuan khusus untuk masyarakat Minangkabau.
Para pakar fiqh kontemporer berpendapat bahwa di Minangkabau yang kekerabatannya adalah matrilineal yang sangat kental sehingga antara saudara seibu adalah sama seperti saudara kandung, bahkan mereka hidup dalan satu rumah yaitu rumah gadang.
Oleh karena rasa kekerabatannya sangat dekat maka ada ahli fiqh kontemporer yang mengharamkan perkawinan antara saudara seibu.
Hal ini mereka dasarkan kepada kaidah ushul bahwa “ al’aadah al makamah “, kebiasaan yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum.
Dari sudut peninjauan ilmu kedokteran terhadap perkawinan antara saudara sepupu, menyimpulkan bahwa adanya kemungkinan dampak negatif terhadap keturunan yang dilahirkan, maka hal ini jelas berkaitan erat dengan hal ihwal kemashlahatan.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin sebagaimana dikutib oleh Said Sabiqdalam kitabnya Fiqh Sunnah bahwa dianjurkan agar tidak mengawini keluarga dekat, sebab nanti anaknya akan lemah.
Ini diibaratkan penyemaian biji padi di satu tempat, lalu batangnya ditanamkan lagi di tempat semula, maka tumbuhnya akan lebih baik dan lebih besar.
Demikian juga dalam masalah perkawinan.
Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menurut syari’at Islam, demi kemaslahatan, dianjurkan untuk menghindarkan perkawinan antara saudara sepupu.
Namun demikian hukum perkawinan antara saudara sepupu tersebut tetap mubah ( boleh ).
Semoga tulisan yang sederhana ini ada manfaatnya bagi kita semua.