Tuesday, 5 August 2014

Indonesia, Serikat yang Dilipat



















Setelah proklamasi Indonesia dibacakan pada Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta di Jakarta, revolusi meledak. Salah satunya berakibat pada hancurnya negara-negara yang ada, yang banyak di antara petinggi-petinggi serta bangsawan-bangsawan negara-negara tersebut dibunuhi, ditangkap, atau melarikan diri.
Dalam masa 1946 sampai 1949, berdiri enam wilayah dan sebelas daerah otonom di kawasan Indonesia.
Negara tersebut adalah:
Negara Indonesia Timur, dibentuk pada 24 Desember 1946
Negara Sumatera Timur, dibentuk pada 25 Desember 1947
Negara Madura, dibentuk pada 20 Februari 1948
Negara Pasundan, dibentuk pada 25 Februari 1948
Negara Sumatera Selatan, dibentuk pada 2 September 1948
Negara Jawa Timur, dibentuk pada 26 November 1948
Daerah otonom itu adalah:
Dayak Besar, ditetapkan pada 7 Desember 1946
Kalimantan Tenggara, ditetapkan pada 27 Maret 1947
Kalimantan Timur, ditetapkan pada 12 Mei 1947
Kalimantan Barat, ditetapkan pada 12 Mei 1947
Bangka, ditetapkan pada 12 Juli 1947
Belitung, ditetapkan pada 12 Juli 1947
Riau, ditetapkan pada 12 Juli 1947
Banjar, ditetapkan pada 14 Januari 1948
Distrik Federal Batavia, ditetapkan pada 11 Agustus 1948
Jawa Tengah, ditetapkan pada 2 Maret 1949
Tapanuli (belum mendapat status Otonom)
Sejumlah orang menuding bahwa negara-negara ini merupakan boneka Belanda, kaki tangan. Akan tetapi, konsepsi negara federal, yang semula memang digagas oleh Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, pada dasarnya diterima dan selanjutnya memiliki pengertian yang berbeda dari apa yang diinginkan Belanda.
Sikap-sikap yang diambil Van Mook membuat dirinya direspon secara berbeda di dua kawasan. Di Indonesia, ia sering kali dianggap sebagai anti-Indonesia. Namun, di Belanda, ia kerap dihina dan dianggap sebagai seorang yang pro pada Indonesia (termasuk pada Negara Republik Indonesia). Bahkan, dalam parlemen Belanda, ia diminta untuk dipecat sebagai Letnan Gubernur Jenderal dari Netherland Indie.
Zaman itu adalah zaman kekacauan. Perundingan-perundingan kerap diwarnai ketegangan. Salah satunya adalah ‘politionele actie’, atau kerap disebut agresi militer I dari Belanda pada 20 Juli 1947. Tindakan tersebut merupakan upaya penyelamatan penduduk dari serbuan pasukan Republik Indonesia dan ekstremis-ekstremis komunis. Di saat itu, banyak pengungsi China dan orang Indonesia, penduduk asli, yang lari dari kejaran-kejaran dan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan kaum ekstremis. Di Belanda, ada satu foto yang terkenal di seluruh dunia, yang berasal dari orang India dan China, yang membandingkan serangan laskar-laskar dan ekstremis dengan kekejaman Nazi di Bergen-Belsen.
Pada aksi tersebut, Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa memerintahkan kedua belah pihak untuk menghentikan perang dan melanjutkan perundingan. Namun, ketika perundingan demi perundingan dengan Republik Indonesia berlangsung dan begitu sukar, dengan situasi yang amat kompleks, dimana negara-negara lain di Indonesia ingin Republik Indonesia bergabung dalam Serikat, yang berkejaran dengan waktu untuk membentuk pemerintahan, Belanda lantas melakukan tindakan militer, pada 20 Desember 1948, yang mengarah ke ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Hal ini terjadi karena Belanda sudah dipatok dalam berbagai perjanjian – Linggarjati, Renville, dan Malino – untuk segera membentuk federasi. Sementara, sikap dari Republik Indonesia tak menentu, yakni di seputar apakah Republik Indonesia akan disamakan dengan negara-negara bagian lainnya atau di luar itu semua, juga masalah dalam hal pemerintahan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pandangan dari internal Republik Indonesia, baik dari tentara, partai-partai sosialis, partai komunis, dan lainnya.
Namun, tindakan Belanda yang kedua ini menuai kemarahan dunia, termasuk Sri Pandit Nehru dari Asia dan Dr. Jessup dari Amerika Serikat. Selain itu, Perdana Menteri Negara Pasundan R.T. Adil Puradireja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Ide Anak Agung Gde Agung, pun menyatakan kecaman dan kemarahannya. Keduanya lantas mengundurkan diri dari jabatan masing-masing sebagai bentuk protes.
Kelak, Republik Indonesia Serikat pun akhirnya berdiri dengan Soekarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Hanya saja, ia kemudian dibubarkan satu persatu. Negara terakhir yang bubar adalah Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur. Semuanya dilebur ke dalam Negara Republik Indonesia yang dahulu merupakan salah satu negara bagian.
Sumber:
Koninklijk Instituut voor de Tropen (1955). De Staatkundige en Politieke ontwikkeling van IndonesiĆ« in de 20 eeuw.
Dr. J.W. Meyer Ranneft (1949). Het Land dat verdween.
Willem Brandt (1947). Demarcatielijn.
Majalah Pengawal (1949). Diterbitkan oleh Jabatan Propaganda dan Penerangan Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur.

No comments:

Post a Comment