Gusti Asnan.
Langit di Bukik Limau Manih mulai menghitam. Awan-awan menggumpal. Satu-satu rintik air jatuh ke bumi. Sepanjang jalan menuju Universitas Andalas, Padang, tepatnya Fakultas Ilmu Budaya, guruh tak henti menggelegar dari langit.
Di atas kendaraan roda dua yang mendaki jalan beton dengan kecepatan 20 sampai 40 kilometer per jam itu, teringat saya pada cerita umi (nenek) soalPemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Biasanya, kejadian perlawanan itu disingkat menjadi PRRI. Tapi di Sumatera Barat, orang menggunakan istilah ‘peri-peri’ untuk hal yang sama.
Umi bercerita bahwa pada suatu masa para tentara dari Jawa datang berkapal-kapal ke Pelabuhan Taluak Bayua (Teluk Bayur). Dari obrolan dilapau (kedai), menurut carito induak-induak (cerita ibu-ibu), tentara-tentara itu menculik dan membunuh satu demi satu datuak-datuak, cerdik-pandai, dan .angku kadi (para guru mengaji), serta masyarakat Minang lainnya. Mereka mengangkat badia (bedil, pistol) untuk melawan masyarakat Minang. Tak tahu pasti apa tujuan mereka datang ke Padang. Yang jelas, mereka menyebar ke beberapa daerah didarek (kawasan di Bukit Barisan).
Setelah melewati perjalanan dengan hujan yang kian menderas, tanpa terasa sampai juga saya di Fakultas Ilmu Budaya.
“Itu profesor sudah menunggu,” ujar seorang Bapak, barangkali dia dosen, sembari menyuruh saya masuk ke salah satu ruangan.
Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berkacamata dan berpakaian kemeja lengan panjang berwarna putih. Dia sedang duduk dengan seorang mahasiswi. Ya, dialah Prof. Dr. Phil. Gusti Asnan, guru besar ilmu sejarah.
Gusti Asnan lahir di Lubuk Sikaping, Sumatera Barat, pada 1 Agustus 1962. Dia orang yang peduli pada rentetan peristiwa masa silam di Sumatera Barat. Salah satu yang luput dari ingatan banyak orang adalah masa dimana orang-orang Minang mengganti namanya dengan nama-nama yang berasal dari luar, umumnya Jawa. Konon, nama-nama itu diberikan oleh para orangtua setelah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia tumbang di Tanah Minang. Perang Pemerintahan Revolusioner itu sendiri, bersama Sulawesi dengan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), berlangsung selama sekitar tiga tahun, yakni 1958-1961.
Berikut adalah cuplikan wawancara Arif Budiman dari LenteraTimur.com dengan peraih gelar doktor dari Fachbereich fuer Sozialwisschenschaften Universiteit Bremen, Jerman.
Dalam suatu diskusi, Bapak pernah menyebutkan bahwa ada periode dimana orang-orang Minang mengganti nama-namanya yang khas dengan nama dari luar. Bagaimana itu terjadi, Pak?
Itu bagian dari penciptaan atau pemikiran identitas baru bagi orang Minang ketika mereka dihadapkan pada sebuah situasi dimana keminangkabauannya, dengan berbagai ciri dan identitas selama ini, dilumat oleh tentara pusat (Jakarta). Mereka dianggap sebagai “orang kalah”. Jadi, setelah kalah, mereka ingin mencari identitas baru untuk lebih survive (bertahan hidup-red). Kalau tidak dicari identitas baru, ya tidak berlangsung kehidupan. Mereka akan tetap dicari oleh tentara pusat, untuk dibunuh.
Bagaimana caranya orang Minang mempertahankan hidup kala itu?
Ya salah satu caranya dengan menjawa-jawakan dirinya. Mencoba mengadopsi apa yang diinginkan oleh pusat. Karena pusat memang ingin mensentralisasikan Indonesia ini, bahkan Minangkabau, sesuai keinginan mereka. Nama-nama itu umumnya lekat pasca-PRRI. Termasuk gaya, (dimana) orang Minang (menjadi) seperti Jawa. Tapi, nama Jawa yang mereka gunakan ada artinya, ada kreasi mereka ciptakan. Contoh, kemarin saya makan nasi Padang di Jakarta. Nama yang berdagang itu Parmanto. Ternyata artinya ‘Parikmalintang’ dan ‘Toboh’. Ayahnya dari Parikmalintang, ibunya dari Toboh. Jadilah Parmanto. Kedua daerah itu dari Piaman (Pariaman). Kedengarannya Jawa, tapi bukan Jawa. Ada Surianto, yang berasal dari ‘Surian’ (nama daerah di kabupaten Pesisir Selatan-red) dan Koto (salah satu suku di Minang-red).
Jadi nama-nama itu juga pengkodean ya, Pak?
Ya. Menariknya, orang Minang kan orang kreatif. Memang mereka mengadopsi nama Jawa, tapi tidak 100 persen nama Jawa. Ada kreasi di dalamnya. Ada penciptaan. Soeharto, Soekarno, kan nama Jawa. Memang namanya mirip seperti itu, tapi ada kreasi di dalamnya. Contohnya yang saya bilang tadi.
Lantas, jika mengambil contoh, bagaimana dengan nama Gubernur Sumatera Barat sekarang, Irwan Prayitno?
Itu yang tidak kreatif mungkin. Coba lihat, beliau lahirnya dimana? Apa betul ia lahir di Minang. Jika iya dari Minang, mungkin saja orang tuanya mengadopsi nama Jawa bulat-bulat. Sama dengan teman saya, Edi Suharto. Dia orang Lubuk Sikapiang tulen, tapi namanya nama Jawa, Dan sampai sekarang nama Jawa itu turun temurun ke anaknnya.
Apakah strategi nama itu untuk menutupi kekalahan mereka?
Itu memang strategi untuk tetap bertahan. Kalau mereka tetap mempertahankan identitas lamanya yang khas Minang, seperti mereka yang bernama Burhanuddin, Syarifudin, Baharuddin, Syamsul Bahri… Dari nama itu nampak sekali Minang yang kalah tadi. Nah, kalau mereka masuk sekolah-sekolah yang dikuasai pusat, susah dan sangat diseleksi.
Itu umumnya terjadi kapan, Pak?
Ya setelah PRRI langsung terjadi. Tahun 1958. Terutama dimasa-masa saya lahir tahun 1960 ke atas, dan seterusnya. Sejak itu nama orang Minang aneh-aneh.
Nama bapak sendiri Gusti Asnan. Apa itu juga korban dari kekalahan PRRI?
Iya. Mana pula ada nama orang Minang itu ‘Gusti’. Kata orang tua saya, nama ‘Gusti’ itu singkatan dari ‘Gus’ (yang artinya) lahir dibulan ‘Agustus’, ‘ti’ (dari) bidan tempat saya lahir (yang) namanya ‘Eti’. Sedangkan ‘Asnan’ itu dari nama ibu saya, Asyiah jadi ‘As’, dan bapak saya ‘Syahminan’ jadi ‘nan’. Digabung jadi ‘Gusti Asnan’. Jelas tidak ada hubungannya dengan Gusti yang di Bali atau Kalimantan.
Berarti kalau tidak mengubah nama, artinya tidak diterima di pusat?
Oh, bukan. Tapi itu memang bagian dari kecerdikan mereka untuk punya akses ke pusat, dan hidup di dunia baru.
Kenapa begitu?
Perlu diketahui, pasca-PRRI tadi, Minangkabau ini betul-betul dikuasai oleh Jawa. Tidak ada yang tidak dikuasai oleh Jawa sekitar tahun 1958 itu. Coba baca buku saya “Memikir Ulang Regionalisme di Sumatera Barat tahun 1950”. Hanya tentara dan Jawa yang berkuasa di Minang ini. Tidak ada celah untuk mengeksiskan Minangkabau itu kembali.
Di tingkat nagari pun yang berkuasa militer, perpanjangan tangan dari mereka (pusat). Yang berkuasa saat itu Penguasa Perang Daerah (Peperda) itu tentara. Walaupun gubernurnya Harun Rang Kayo Basa, tapi yang berkuasa tetap militer. Tentara semena-semena sekali saat itu.
Jadi karakter nama saat itu seperti apa?
Nama itu dibikin aneh-aneh. Disingkat-singkat. Dan itu punya arti. Nama itu dibuat oleh orang tuanya. Pada masa itu nama-nama seperti itu yang disukai dan bisa diterima. Sehingga kesan kita (Minangkabau) sebagai orang-orang PRRI itu berkurang. Agar terputus juga dengan masa lampau.
Efeknya seteleh ganti nama itu?
Lahirnya orang-orang baru dengan spirit baru. Terutama bagi orang-orang tua, yang saya lihat untuk menghilangkan kesan agar mereka tidak begitu Minang lagi. Memperbarui diri, tapi tidak memutuskan.
Selain itu, segala urusan di Wali Nagari bisa mudah. Contoh saja ketika ibu saya melaporkan kelahiran saya ke Wali Nagari Pauh-Lubuak Sikapiang, itu gampang. Wali Nagarinya komunis. Nah, kalau muncul nama-nama baru itu, senang sekali hatinya. Mudah mendapatkan tanda tangan untuk akta kelahiran, pun melaporkan kematian. Tapi coba namanya Alamsyah, Burhanuddin, Charil, Anwar, dan lain sebagainya, Wali Nagarinya sinis.
Dan menurut literatur yang saya baca, bagi mereka yang merantau ke Jawa, mereka lebih mudah diterima. Baik itu untuk masuk polisi, AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), dan sebagainya.
Apakah pergantian nama ini juga memiliki pengaruh terhadap kemunculan tokoh-tokoh baru dari alim ulama, cerdik pandai, di Minangkabau?
Saya pikir tidak jadi masalah. Contoh saja ada nama alim ulama Buya Boy Lestari Datuak Palindih. Itu kan tidak nama buya sekali. Ada lagi Jhon Kennedy Datuak Tumangguang. Kenapa seperti itu, karena pada masa itu, ada strategi untuk bertahan dan menyesuaikan dengan kondisi yang baru.
Untuk saat ini, efek nama Jawa itu apa masih melekat untuk generasi muda Minang?
Relatif. Nama-nama sekarang lebih berkesan Islami, seperti Arif, Habibi, Nuralifah. Balik lagi ke identitas baru, karena kita pada sibuk dengan ABS-SBK (Adat Basadi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) lagi. Nama-nama kejawaan tidak muncul lagi.
Apakah pergantian nama tadi disadari oleh generasi muda Minang itu sendiri?
Disadari baru akhir tahun 1980-an. Perubahan nama itu tadi jelas, disadari di bawah alam sadar mereka. Hanya strategi survival yang saya lihat. Jadi tidak ada gerakan yang disengaja untuk mengganti nama itu, cuma spontan saja. Baru tahun 80-an akhir ada ulasan-ulasan kajian seperti ini ditulis.
Awal tahun 2000 menjadi proyek besar (penelitian) di Singapura mengenai penamaan ini. Singapura mensponsori (penelitian) bagaimana penamaan dan gelar-gelar orang-orang di Asia, terutama di Asia Tenggara khususnya. Masuk di antaranya Minangkabau.
Jadi nama Minangkabau itu karakter aslinya seperti apa pak?
Minang adalah perubahan. Ada di ensiklopedia Nederlandsch-Indie dituliskan nama Minang yang sebenar itu adalah dari nama-nama alam dan benda yang ada di dalamnya, seperti Pauh, Manggih, Karuntuang. Itu yang pernah saya lacak. Setelah itu baru masuk nama-nama kehindu-hinduan, kebudha-budhaan, terus baru nama-nama keislaman. Setelah itu baru muncul nama-nama kejawa-jawaan dan singkatan atau pengkodean, dan baru dua dekade terakhir muncul kembali nama-nama Islam. Nama-nama Islam yang indah-indah itu seperti Rahman Hakim, Muhammad Amir, Amizan.
Bagaimana dengan bahasanya, Pak? Apa juga menjadi bahasa Jawa?
Lewat bahasa tidak begitu massif. Saat itu juga orang Minang mengalami eksodus besar-besaran. Mereka meninggalkan Minang untuk merantau. Jadi (tindakan) merantau itu paling banyak pasca-PRRI tadi.
Saat itu bagaimana kehidupan orang Minang sendiri?
Bayangkan saja suasana di kampung-kampung. Lewat di pos militer saja orang Minang sangat kuncun (takut sekali-red). Untuk mengatasi itu, ya seperti tadi, mengganti nama. Karena memang pada masa itu daerah Minangkabau dibanjiri oleh orang-orang Jawa.
Suasana kota kala itu bagaimana Pak?
Saat itu orang-orang yang ada di kampung lari ke kota. Penumpasan PRRI itu dipusatkan di kampung-kampung bukan di kota. Kota sangat mudah ditaklukkan kala itu. Yang paling lama bertahan adalah daerah Pasaman. Itu daerah yang paling lama untuk ditaklukkan. Pasca-PRRI itu, PKI (Partai Komunis Indonesia-red) sangat kuat sekali di Minangkabau, terutama di daerah-daerah. Sebab orang sudah banyak lari ke kota.
Dua tempat eksodus kala itu, pertama, dari kampung ke kota; kedua, lari keluar meninggalkan Sumatera Barat dengan tujuan Jawa.
Berapa banyak yang eksodus keluar Sumatera Barat?
Sampai ratusan ribu orang. Dan ini pertama sepanjang sejarah Minangkabau. Di tahun 1973 dan 1974, penduduk Minangkabau di Jakarta sama jumlahnya dengan penduduk Kota Padang. Secara persentase, orang Minang paling banyak di Jakarta saat itu. Dalam buku Mochtar Naim, ada diceritakan jumlah masyarakat yang eksodus itu.
Jadi kalau takuik di ujuang badia, pai kapangka badia(kalau takluk di ujung pistol, pergi ke pangkal pistol-red).
Tadi dikatakan PKI sangat berkuasa sekali di daerah-daerah pasca-PRRI. Apakah itu berpengaruh terhadap agama masyarakat Minang yang dikenal sangat kuat Islamnya?
Masalah pindah agama saya tidak menemukan. Tapi saat itu mulai masuk orang Kristen ke Minangkabau. Mereka masuk lewat program transmigrasi dari Jawa. Terjadi sekitar tahun 1950-an di Pasaman, walaupun sudah diajukan syarat oleh cerdik pandai Minang kalau yang mau bertransmigrasi ke Minang harus orang Islam. Tapi mana mungkin orang bisa mendata mereka Islam atau Kristen. Dua atau tiga orang pasti ada orang Kristen di situ.
Nah, tahun 1956 masalah transmigrasi ini mulai ribut, sampai tahun 1960. Kita tidak bisa komplain dengan banyaknya transmigran masuk. Bagaimana bisa komplain, bupati Pasaman ketika itu orang komunis, namanya Joan Rifa’i. Dia komunis tulen, sampai tahun 1965 baru lengser. Saat itu diizinkan membangun gereja di Panti, Pasaman Barat, Bukittinggi.
Bagaimana reaksi orang Minang Pak?
Tidak bisa berbuat apa-apa, karena sudah kalah. Yang berkuasa adalah PKI dan Jawa tadi. Bagi mereka tidak masalah. Jadi kalau orang Minang masuk Kristen tidak banyak, tapi kalau orang Minang jadi Komunis sangat banyak sekali waktu itu. Bahkan tokoh-tokoh besar komunis itu dari Minang.
Tahun 1973-1974 terjadi eksodus besar-besaran penduduk Minang ke Jakarta. Nah dengan banyaknya eksodus kala itu, apakah berpengaruh sampai hari ini dengan kondisi Sumatera Barat yang jauh “tertinggal” dengan tetangga, seperti Riau atau Jambi?
Memang sangat berpengaruh sekali dengan sumber daya manusia kita. Peristiwa PRRI menghabisi orang-orang Minang yang hebat-hebat, baik alim ulama maupun cerdik-pandainya. Mereka memang ditumpas supaya tidak muncul ke panggung sejarah. Peristiwa itu dimulai tahun 1950-an tadi. Mereka-mereka itu, sebut saja, Muhammad Sjafei, Natsir, M.Rasyid, Datuak Palimo Kayo, dan masih ada puluhan atau ratusanlah.
Sudah itu berkuasa orang PKI dan Jakarta. Kala itu masih ada orang Minang, tapi pro dengan PKI atau “kiri”. Tahun 1965 (terjadi) kudeta (di pemerintah pusat). Orang-orang pro “kiri” tadi dihabisi pula sama Orde Baru. Berarti tidak berapa (banyak-red) orang Minang yang tinggal. Nah, yang tinggal sedikit itu sudah eksodus keluar pula. Apalagi yang tinggal di Minang ini!
SDM kita itu “memble” sekali (saat mengatakan ini, Gusti Asnan sampai memukul meja-red). Jadi yang tinggal itu memang sisa-sisa saja tahun 1965 itu. Jadi wajar dampak itu terjadi sekarang. Kita itu memang habis! Berbeda dengan Riau. Pasca lepas dari Minangkabau atau Sumatera Tengah, dia bangkit pelan-pelan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, dia punya duit membangun daerahnya. Sementara kita, orang-orang hebat itu pergi keluar.
Dengan kondisi sekarang, dimana ada orang Minang yang jadi menteri di kabinet, itu berpengaruh tidak dalam mendukung kemajuan Sumatera Barat?
Persentasinya lebih sedikit jika dibandingkan awal-awal merdeka dulu. Lihat awal kemerdekaan, (dari) enam tokoh nasional, empatnya dari Minang. Dari empat tokoh pembentuk negeri, tiga dari Minang, hanya satu dari Jawa; Soekarno. (Dari) Minang (adalah) Hatta, Syahrir, Tan Malaka.
Sekarang tak seberapa orang Minang yang duduk di kabinet. Dan perlu diingat pula apa pos yang mereka duduki di kabinet dan dimana dia dibesarkan. Apakah memang di Minangkabau? Paling cuma Gamawan Fauzi. Mereka yang besar di Minang ditempa dengan adat, Islam, dan budaya tradisi Minang, jadi ada ikatan dengan tanah kelahirannya.
Jadi menurut Bapak, kapan Minangkabau itu berjaya?
Sampai PRRI, Minangkabau itu jaya. Bahkan ada peneliti, Hanna Awlad dari Cornell University, tahun 1957, yang menulis bahwa orang Minang itu orang yang paling intelektual di Indonesia. The most intellectual people in the Indonesian. Sekarang jika dibandingkan dengan daerah lain, kita mundur.